Tinggalkan komentar

14 KAIN BAHAN BUSANA YANG PALING MENYERAP AIR (Bagian 2)

*4. Kain Kapas/Katun*

Kapas adalah kain alami dalam berbagai produk tenunan maupun rajutan. Kain ini memiliki kemampuan yang besar untuk menyerap kelembaban dan mudah kering. Kain rajut katun lebih menyerap daripada katun tenun, oleh karenanya banyak dipilih sebagai pakaian bayi dan balita.

5. Kain wafel penyerap*

Kain cotton waffle pique adalah kain yang sangat menyerap yang digunakan untuk handuk kamar mandi (selain jenis Terry) dan lap dapur yang paling dibutuhkan dalam aktifitas sehari-hari. Bentuk permukaan rajutannya memang mirip dengan kue wafel, oleh karenanya disebut Kain Wafel.

*6. Rayon*

Viscose Rayon memiliki daya serap air yang lebih besar daripada linen atau katun. Salah satu kelemahannya adalah serat menjadi lemah saat basah, ia kehilangan hingga 50% kekuatannya saat basah. Oleh karenanya pada Rayon generasi ke dua dan ketiga kelemahan ini telah di perbaiki sehingga kita mengenal kain Rayon HWM (High Wet Modulus Rayon). Akan saya bahas pada artikel lain di blog saya ini.

*7. Wol*

Kain wol dan berbagai jenisnya (fleece & woolen) secara alami bersifat hidrofilik. Mereka menyerap kelembaban dengan sangat mudah dan pada saat yang sama juga membuat tubuh Terasa hangat.

Bersambung ke artikel ke 3

Buku ini dapat di pesan melalui WA 0821 3103 4678 – Adi Kusrianto

Tinggalkan komentar

*Sacred heirloom of Indonesian textile*

Adi Kusrianto

Sudah sering menjadi buah bibir, seolah ber olok-olok, bahwa sejarah kita, sejarah budaya Nusantara ada ditangan bangsa asing yang lebih rajin mencatat dan mempelajari budaya nenek moyang kita.

Saya menjadi tercengang ketika membaca hasil riset-riset antropolog budayawan bangsa asing yang menulis lebih jelas disertai foto-foto yang berkualitas sangat bagus perihal tekstil-tekstil kuno bangsa kita.

Ketika sejak tahun 2012 saya bersama Pak Yusak Anshori menulis “Jalan-jalan Lombok, Enaknya Kemana” saya mencatat nama-nama kain tradisional Lombok (buku saya ini dikoleksi Perpustakaan Universitas Leiden). Kemudian saat saya membawa mahasisawa FDB – UC (Fashion Design & Business Universitas Ciputra) tahun 2014 hingga 2016, nama-nama kain Songket Lombok yang beredar dan populer di dunia Pariwisata Lombok, khususnya yang banyak di ekspose dari desa Sukarara saya juga mendapati nama-sama motif diantaranya Subahnale (maksudnya Subhanallah) kata yang keluar dari mulut penenun saat mengerjakan motif yang sangat rumit. Ternyata warisan budaya tenun suku Sasak banyak sekali yang luar biasa serta sangat berragam motif dan tekniknya. Nama Subahnale itu ternyata awalnya tidak mengacu pada suatu disain motif tertentu, tetapi menjadi semacam keluhan (keluhan positif dengan menyebut pujian kepada Allah), karena antara Subahnale yang satu dengan Subahnale yang lain ternyata motifnya berbeda.

Lalu kenapa saat ini kita sulit mendapatkan kain-kain tradisional yang bernama Asap, Asap Kanali, Asap Jong, Ana nene atau Sakong. Juga tenun-tenun tradisional dari orang Sasak Bukit Sembalun yang ternyata motifnya sangat berbeda dengan sentra tenun Suku Sasak yang di pusatkan di Sukarara maupun di Desa Tradisonal Sade. Dengan demikian jarang ada tulisan yang membahas kain-kain tradisonal yang menjadi “Sacred Heirloom” (Kain pusaka yang suci) bagi suku Sasak. Padahal orang-orang Sasak telah memiliki kain tenun pusaka ini sejak abad ke 17, setidaknya orang-orang Eropa telah menyimpan koleksi sebagai koleksi pribadi maupun yang disumbangkan ke Musium Etnografi. Museum di Sydney juga memiliki koleksi Sacred Heirloom ini disertai informasi yang sangat memadai.

Saya jadi sangat iri kepada mereka yang memperoleh pendanaan tidak terbatas guna mengungkap keelokan warisan budaya bangsa Indonesia. Jika kita para akademisi jaman modern ini, kita hanya mampu mencatat stok barang masa kini yang bisa di eksplorasi, sementara situs-situs tekstil kuno yang tersimpan secara sangat hati-hari walaupun kain-kain tersebut sudah sangat renta dimakan usia hanya bisa di akses pada museum luar negeri.

Keinginan mempelajari warisan ini sementara cukup terobati ketika kita membaca buku-buku seperti PreHistoric Textile, Early Indonesian Textile, Indonesian Textile (Wanda Warming), Indonesian Textile (Michael Hitchock), Indonesian Traditional Textile, Fabric Traditional in Indonesia, dan yang terbaru terbitan tahun 2021 Textile of Indonesia.

Ketika saya menulis kembali beberapa informasi dari sumber-sumber referensi tersebut setidaknya ingin mensosialisasikan kepada pecinta Tekstil Tradisional, bahwa betapa ber aneka ragamnya teknik tekstil yang telah dikuasai bangsa kita, baik dari disain anyaman, teknik menenun maupun mengkombinasikan bahan benang tenun. Kita punya teknik tenun tradisional songket, sungkit, tenun pakan tambahan, tenun lusi tambahan, tenun sulam, embroidered woven, dll.

Disitu kita juga akan tertarik pada kain-kain yang dianggap sebagai kain suci (sacred), pada tulisan saya terdahulu saya menyebut sebagai kain bertuah, hingga kain-kain yang digunakan sebagai pakaian upacara adad, yaitu kain/ busana khusus yang digunakan saat manusia sebagai ciptaan Tuhan sedang menghadap Tuhan (dalam arti berdo’a). Jadi teringat sepenggal syair ciptaan Sunan Kalijaga yang menggambarkan persiapan seorang hamba ketika akan menghadap Tuhan (tuan) nya dengan membersihkan kain (batik)nya sebelum hadir pada pisowanan (waktu bersembahyang).

Lir ilir, lir ilir (Bangunlah, bangunlah)
Tandure wis sumilir (Tanaman sudah bersemi)
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar (Telah menghijau seperti pengantin baru) Cah angon-cah angon (Anak gembala-anak gembala)
Penekno blimbing kuwi (Panjatlah pohon belimbing itu)
Lunyu-lunyu penekno (Walaupun licin, tetap panjatlah)
Kanggo mbasuh dodotiro (Untuk membasuh pakaianmu)
Dodotiro-dodotiro (Pakaian-pakaianmu)
Kumitir bedhah ing pinggir (Terkoyak pada bagian pinggir)
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore (Jahitlah dan benahilah untuk sembahyang sore nanti)
Mumpung padhang rembulane (Selagi bulan masih bersinar terang)
Mumpung jembar kalangane (Selagi masih banyak waktu luang)
Yo surako, Surak iyo…. (Ayo bersoraklah, sorakan iya…)

Syair yang maknanya masih nyambung dengan kehidupan kita di era modern ini dapat diambil gambaran, bahwa untuk ritual khusus menghadap yang Maha Pencipta (saat ini kita menyebutnya dengan sholat/ ber ibadah dll) diperlukan busana tertentu yang paling bagus, paling bersih, serta di sucikan terlebih dulu.

Saya menulis beberapa uraian mengenai Kain sakral/ suci bahkan kadang disebut kain bertuah melalui akun wordpress saya melalui link sebagai berikut:
https://adikusrianto.wordpress.com/

Tinggalkan komentar

Petikan dari Buku Nini Thowok, The Spinning Wheel karya Rens Heringa

Sampul buku Nini Thowok, Karya rens Heringa.

Dari Tulisan Rens Heringa, Baru Terungkap, Wong Kalang Adalah Kakek Buyut Orang Kerek Tuban

Pada tulisan Ren Heringa, bab LAND OWNERSHIP, SOCIAL CLASS AND TEXTILE TECHNIQUE IN KEREK (KepemilikanTanah, Status Sosial dan Teknik Tekstil yang dikuasai orang Kerek) disitu ia menyebutkan asal usul Kecamatan Kerek yang awalnya pada abad ke 18 di buka oleh orang Kalang.

Selanjutnya silahkan ikuti uraian saya setahap demi setahap, karena akhirnya tulisan Rens ini mampu membuka logika, mengapa orang Kerek begitu setia memegang tradisi nenek moyang mereka dari abad-abad yang silam.

***

Kecamatan Kerek terdiri dari 17 pedukuhan yang melintang sepanjang 3,5 jam perjalanan dari ujung itur hingga ke ujung barat. Pedukuhan yang terletak ditengah adalah pedukuhan tertua dibanding yang ada di sekelilingnya. Masing-masing pedukuhan memiliki spesialisasi dalam hal profesi mereka yang berkisar dalam pembuatan tekstil serta perdagangan yang berawal hanya perdagangan antar mereka dari satu dukuh ke dukuh yang lain. Oleh karenanyalah maka komunitas penduduk Kerek mampu memiliki tradisi yang sangat khas dalam berpakaian.

Peta Pedukuhan di Kecamatan Kerek

Bukan hanya jenis kain maupun coraknya, tetapi mereka memiliki tatanan semacam strata dalam masyarakat. Bedanya jika pada komunitas kraton strata ditentukan oleh keturunan bangsawan maupun jabatannya dalam pemerintahan, maka strata yang dimaksud pada masyarakat Kerek ditentukan oleh keturunan serta status profesi dan kepemilikan tanah. Jelas secara struktur sosial, strata pada masyarakat ini sekedar membedakan kelompok sosial dalam kehidupan masyarakat.

Yang membedakan strata sosial tersebut tidak lain adalah jenis kain dan motif yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi pakaianlah yang membuat seseorang dikenali dari kalangan apa.

Masing-masing dukuh merupakan klaster-klaster yang berhubungan dengan jenis spesialisasi pekerjaan yang ditekuni, dimana hal ini berdasarkan perdagangan maupun tukar menukar hasil kain yang mereka buat dalam komunitas mereka. Hal ini berhubungan dengan karakteristik tahapan pembuatan kain tersebut.

Jadi, tahapan proses yang paling hulu (paling awal) adalah menyediakan lahan yang dimiliki sebagai lahan menanam kapas. Para perempuan setengah baya di pedukuhan wilayah barat memiliki spesialisasi dalam menenun kain dengan disertai motif-motif tertentu. Nenek-nenek di pedukuhan barat memiliki spesialisasi memintah benang halus untuk ditenun sebagai kain polos untuk bahan batik. Para perempuan di semua pedukuhan ini rata-rata mampu membatik dengan motif-motif spesifik di dukuh mereka. Batik dengan kualitas terbaik hanya dihasilkan dari pedukuhan di pusat (yang letaknya ditengah), yaitu dukuh yang pertama kali berdiri di wilayah ini.

Perempuan pedukuhan tengah yang memiliki skill khusus dibanding pedukuhan lainnya.

Para perempuan di daerah ini sejak dahulu dapat meluangkan waktu cukup lama sehari-harinya guna membatik dengan kualitas halus, karena mereka terbebaskan dari tuntutan bekerja di tegalan maupun sawah. Jadi sejak kecil mereka telah mengkhususkan diri sebagai perajin batik yang menjadi andalam keluarga dan daerah mereka.

Mereka inilah tenaga pembatik yang sangat familiar dengan motif-motif khas daerah mereka, sehingga semua order yang berkaitan dengan motif khas ini merekalah yang mengerjakan. Sementara ada keluarga-keluarga tertentu yang memiliki keahlian mewamai kain batik yang selesai di canting lalu melakukan pelorodan malamnya.

Hubungan Kepemilikan Lahan dan Tingkatan Sosial dalam masyarakat Kerek

Wilayah Kerek merupakan suatu kantong lahan yang dibatasi kaki bukit berkapur terletak delapan belas kilo dari kota Tuban dan pelabuhan tua Kambang Putih yang dulunya sangat strategis sebagai pelabuhan dagang di Utara Pulau Jawa.

Awalnya yang membuka lahan ini adalah orang Kalang, suatu masyarakat suku Jawa yang boleh dikata minoritas dan memiliki kebiasaan yang berbeda dibanding suku Jawa pada umumnya.

Mengenal suku Kalang dari catatan sejarah

Suku Kalang merupakan salah satu suku yang bermukim di Pulau Jawa. Orang-orang Kalang merupakan etnik Jawa yang dengan sengaja hidup mengasingkan diri dalam hutan. Berdasarkan data yang tersedia dari zaman Hindu-Budha (abad ke 8-15), orang-orang Kalang masa itu telah hidup mengasingkan diri di hutan rimba Tanah Jawa yang kala itu masih luas dan jarang dijelajahi manusia.

Penelitian ini dari sejumlah prasasti, maupun catatan sejarah lainnya yang berhubungan dengan eksistensi suku Kalang. Sementara survei arkeologi dilakukan dengan survei di situs kubur batu Kalang, yaitu di situs Kawengan dan Kidangan (Tanggir), Bojonegoro.

Daerah-daerah tempat kediaman orang Kalang ialah tersebar di sekitar pegunungan yang meliputi daerah utara pantai selatan dan sebelah selatan pantai utara pulau Jawa. Tempat-tempat tersebut diantaranya sebelah selatan ialah: Cilacap, Adipala, Gombong, Ambal, Karanganyar, Petanahan, Yogyakarta, Surakarta, Tulungagung hingga Malang; sedangkan daerah utara diantaranya: Tegal, Pekalongan, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Demak, Pati, Cepu, Tuban, Bojonegoro, Surabaya, Bangil dan Pasuruan (Soelardjo Pontjosutirto, 1988)

Di daerah tempat kediaman orang Kalang ini, banyak cerita tentang golongan ini, yang dianggap hina dan sekaligus juga disegani. Mereka konon mempunyai adat istiadat yang ganjil, menjadi kaya melalui cara yang tidak biasa. dan bahkan sebagian menyebutkan mereka mempunyai ekor. Dari gambaran yang ada di kalangan masyarakat ini, jelaslah orang Kalang dianggap berbeda dengan orang Jawa.

Orang Kalang menurut fotographer National Geographic.

Penggambaran Wong Kalang sebagai manusia ber ekor, dirunut dari manusia Purba  ©YouTube/Nganjuk TV

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Soelardjo Pontjosoetirto (1971) menggambarkan tentang keberadaan orang Kalang yang tersebar di sepanjang sisi utara dan selatan Pulau Jawa.

Selain itu, mitos asal-usul orang Kalang juga menyajikan cerita yang menarik. Mitsuo Nakamura (1983), Antropolog dari Jepang mengungkapkan mitos yang berkembang tentang orang Kalang. “Mereka dianggap keturunan anjing”. Mitos lainnya, beberapa orang bahkan percaya kalau orang Kalang keturunan dari kera yang kemudian menikah dengan putri”, ujamya. Kata Kalang juga menarik untuk diketahui. Dalam kamus bahasa Jawa yang disusun oleh Gericke Roorda, Kalang artinya sama dengan Kedjaba yang mempunyai makna berdiri di luar. Orang Kalang kerap dianggap bukan bagian dari Suku Jawa karena pengaruh mitos dan arti kata tersebut.

Dongeng yang mirip dengan Legenda Dayang Sumbi dan Sangkuriang

Mitos yang berkembang dan sangat kuat di masyarakat Jawa yang menceritakan asal muasal Suku Kalang temyata mirip sekali dengan dongeng Dayang Sumbi dan putranya Sangkuriang dari Pasundan. Cerita itu dimuat dalam beberapa tulisan ilmiah para antropolog. Artinya para ilmiawan ini telah melakukan riset dan wawancara secara serius.

Ceritanya sebagai berikut:

Dahulu kala ada seorang raja berburu ke hutan dengan beberapa pengiringnya. Setelah tiba di tengah hutan, raja merasa hendak buang air kecil. Maka dicarinya sebuah tempurung untuk tempat air kencing. Setelah selesai, air kencing dalam tempurung itu ditinggalkan saja di tengah hutan. Pada suatu ketika ada seekor babi hutan betina yang sangat haus dan meminum air kencing raja sampai habis.

Tidak lama kemudian babi hutan itu bunting dan setelah waktunya lahirlah seorang bayi perempuam yang mungil. Bayi itu ditinggal saja ditengah hutan dan akhimya ditemukan oleh seorang janda yang hidup di tepi hutan dan diasuh sebagai anaknya sendiri.

Anak itu akhimya menjadi gadis yang cantik, yang pekerjaanya menenun kain di atas rumah panggung yang tinggi. Ketika sedang asyik menenun, tiba-tiba teropong (sekoci) tenunnya terlepas dan jatuh ke tanah. Ia enggan untuk turun mengambilnya. Agar alat itu kembali, ia mengucapkan nazar, barang siapa yang dapat mengambilkan barang itu,apabila laki-laki akan diterima sebagai suaminya.

Tiba-tiba datang seekor anjing jantan yang membawa alat itu. Ia sangat terkejut dan menyesal atas nazamya, tetapi ia tidak mau mengingkari janji nazamya, dan diambilnya anjing itu sebagai suaminya.

Dari perkawinan itu, mereka mempunyai anak laki-laki tampan, yang dinamakan Jaka Sona (Sona artinya anjing). Setelah besar kegemaran pemuda itu berburu dan diikuti oleh anjingnya yang setia (yang sebenamya ayahnya)

Pada suatu hari ketika sedang berburu Joko Sona bertemu dengan seekor babi hutan. Ia segera memerintahkan anjingnya untuk mengejar babi hutan itu, tetapi tidak seperti biasanya, anjing itu tidak mau menjalankan perintahnya. Pemuda itu sangat marah, babi hutan dan anjing dibunuh oleh Jaka Sona. Selanjutnya hal itu diceritakan kepada ibunya. Ibunya sangat terperanjat, dengan sedih diterangkan kapada anaknya, siapakah  sebenarya babi hutan dan anjing itu. Tidak lain adalah babi hutan itu adalah neneknya sendiri (nenek Joko Sona) dan anjing itu sebenamya adalah ayahnya sendiri.

Karena merasa bersalah pemuda itu akhimya meninggalkan ibunya mengembara dari hutan ke hutan. Jaka Sona akhimya mengabdikan diri di kerajaan dan terkenal dengan nama Kalangjaya dan dianggap sebagai nenek moyang orang Kalang. Demikianlah salah satu ceritera rakyat atau mitos mengenai asal-usul orang Kalang.

Mitos tersebut menimbulkan beberapa kesimpulan seperti: dongeng itu pasti tidak berasal dari orang Kalang sendiri, oleh karena sangat menghina. Apalagi sebagai keturunan anjing, kejijikan orang Jawa Islam terhadap sebutan anjing sebagai makian sangat kasar. Dongeng yang berisi prasangka itu mungkin berusaha mencari gambaran kerendahan sosial bagi orang Kalang.

Sumber: Tuha Kalang: Orang Kalang dalam Kebudayaan Jawa; Penulis: Agus Aris Munandar, Aditya Revianur, dan Deny Yudo Wahyudi; Penerbit: Wedatama Widya Sastra, Oktober 2018;

Sumber informasi:

(Shinta Dwi Prasasti staf Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DI Yogyakarta, sedang menempuh S2 Arkeologi di Prodi S2 Arkeologi FIB UGM, pada artikel detiknews, “Menelusuri Jejak Orang Kalang” )

Orang Kalang Di zaman Mataram Kerajaan Islam

Pada masa Mataram Islam, orang kalang muncul beberapa kali dalam pemberitaan. Pada tahun 1636 misalnya Sultan Agung mengumpulkan orang kalang untuk diberi tempat tinggal yang menetap. Orang Kalang dahulu adalah orang yang mengembara di hutan-hutan. Pada masa Sultan Agung mereka disuruh menetap di desa-desa tertentu dan diberi tugas mencari kayu dan menebang pohon di hutan.  Mereka juga diberi tugas sebagai pengangkut barang-barang, kusir pedati, tukang kayu dan lainnya. Karena kemahirannya di dalam pembuatan barang-barang dari kayu, beberapa diantaranya dijadikan abdi dalem atau hamba raja dengan tugas khusus untuk mendirikan bangunan-bangunan di lingkungan keraton seperti masjid, bangunan kraton, rumah, dan bangunan lain (Altona, 1923).

Sebenamya penampilan mereka sehari-hari tidak berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya, maka dapat dipertanyakan apa yang membuat mereka lain.

Terdapat 4 hal pokok yang membuat mereka lain yaitu:

  • Nama Kalang yang dipakai mereka sendiri, dengan sebutan “WONG KALANG”.
  • Mereka tidak menikah diluar kelompok mereka jika ingin menjadi Kalang sejati,
  • Mereka bukan atau tepatnya jarang yang menjadi petani, dan bekerja sebagai pedagang.
  • Mereka lama tidak memeluk agama Islam dan mempertahankan ritus-ritus pra Islam dalam hal perkawinan dan kematian (Guillot, Claude, 1999)

Sebagai contoh, pengamatan antropologis khususnya terhadap tradisi atau adat kebiasaan mereka, kita dapat membedakan dengan kebiasaan orang Jawa pada umumnya. Karena orang Kalang memiliki tradisi yang khas disebut upacara obong, yaitu upacara kematian, penghormatan terhadap roh leluhur dengan cara membakar puspa atau boneka serta uborampe lainnya, kemudian diteruskan dengan melabuh abunya ke laut atau sungai. Upacara obong yang mengingatkan pada upacara sradha (Majapait) atau Ngaben (di Bali) tersebut, terakhir diselenggarakan pada tanggal 8 Agustus 1978 oleh orang Kalang di desa Ngoto, Kelurahan Bangunjiwo, Kecamatan Sewon, Kabupatren Bantul, Yogyakarta ( M.T. Hari Lelono, 1989).

Terkait dengan kematian masyarakat Kalang, di daerah Bojonegoro dan Tuban terdapat komleks kubur yang oleh penduduk setempat disebut kubur kalang. Bentuknya berupa kubur peti batu yaitu beberapa lempengan batu sebagai dasar, keempat sisinya lempengan batu berdiri dan lempengan batu sebagai penutup (stone cist grave). Tepatnya berada di tengah hutan jati di pegunungan Kendeng Utara, masuk wilayah BKPH Malo. Nama-nama situsnya antara lain di daerah Kabupaten Bojonegoro (situs Kawengan, situs Gunungmas, dan situs Kidangan); dan di daerah Kabupaten Tuban (situs di Kecamatan Kenduruan dan Kecamatan Senori).

Prawiro dan isterinya Sutinah beserta Keluarga, pada tahun 1950-an. Salah satu keluarga Kalang di Cilacap, Jawa Tengah

Sumber dari tulisan: Pradita Devis Dukarno

Tulisan ini akan berlanjut.

***

Tinggalkan komentar

Batik Bukan Sekedar Seni Resist Dyeing

Adi Kusrianto

Batik yang kita kenal sebagai warisan budaya asal Indonesia, adalah merupakan teknik menghias kain dengan menggunakan cara perintangan warna (resist dyeing/ resist painting). Jika kita mendefinisikan budaya batik hanya sekedar dari sisi resist dyeing nya saja, maka artinya Batik sudah ada sejak manusia gua dan batik sudah ada di Mesir, Cina, Jepang, India, Afrika Barat, Asia Tengah. Jelas bukan seperti itu cara kita menjelaskan apa itu batik.

Batik Indonesia dibuat menggunakan bahan perintang warna berupa lilin/ malam panas (bahkan lilin/ malam dinginpun tidak diakui sebagai batik). Alat yang digunakan menggoreskan lilin panas tersebut adalah alat yang disebut canting, bukan kuwas, bukan stik. Bahkan ketika pada perkembangannya muncul batik cap yang berguna untuk melindungi batik dari pemalsuan orang Eropa dan mempercepat supply kain batik ditengah derasnya demand pasar domestik maupun ekspor pada awal abad ke 20, maka cap logam pembuat motif batik akhirnya dengan bijak disebut canting cap, dan tidak pernah ada istilah canting kuwas, canting stik, canting sprayer, apa lagi canting palet knife. Yang ada dalam perkembangannya adalah bentuk-bentuk canting cucuk loro (memiliki dua ujung), canting cucuk telu (memiliki ujung tiga) dan canting jebor atau istilah apa lagi untuk menyebut canting berujung lebar yang berfungsi untuk nembok.

Pada era elektronik bahkan muncul canting listrik, dimana pemanasan lilin bukan dilakukan pada wajan yang dipanasi diatas kompor melainkan dengan panasnya listrik. Tapi sejauh itu tidak jauh berbeda dengan prinsip kerja canting batik. Oke canting listrik, welcome.

Itu baru dari sisi peralatan dan teknik menggoreskan lilin pada kain.

Menerangkan batik tidak boleh lepas dari apa yang digambarkan pada kain, dengan kata lain yang lebih ilmiah, batik tidak boleh dilepaskan dari apa ragam hias alias elemen-elemen yang terdiri dari pola, motif, ornamen yang akhirnya membentuk desain kain batik itu.

Batik juga tidak lepas dari kegunaan, fungsi, kandungan maksud harapan dan doa yang ada di dalamnya. Batik diciptakan oleh penciptanya untuk maksud-maksud tertentu sesuai dengan hajat hidup orang Jawa. Sejak manusia lahir hingga kelak meninggal dunia senantiasa tidak lepas dari motif-motif tertentu dari kain batik. Oleh karenanya setiap motif batik senantiasa memiliki kegunaan tertentu.

Masih ada lagi. Batik memiliki kandungan Filosofi. Batik dalam masyarakat Jawa memang tidak terlepas dari ajaran filsafat Jawa yang secara tersirat menjelaskan hubungan mikro kosmos, meta kosmos dan makrokosmos. Pandangan tentang makrokosmos mendudukkan manusia sebagai bagian dari semesta. Manusia harus menyadari tempat dan kedudukannya dalam jagat raya ini. Metakosmos biasa juga disebut “mandala” adalah konsep yang mengacu pada  “dunia tengah”, dunia perantara antara manusia dan semesta atau Tuhan. Sementara itu, mikrokosmos adalah dunia batin, dunia dalam diri manusia.   (teks cetak miring ini saya ambil dari buku saya “Batik, Filosofi, Motif dan kegunaannya”).

Sementara kemajuan maupun semangat modernisasi selalu berdampak pada lapuknya tradisi. Oleh karenanya kewajiban kita bangsa Indonesia untuk mempertahankan batik dari perubahan waktu dan mempertahankan makna batik dari selembar wastra berisi kandungan keindahan serta filosofi nan berbalut harapan dan doa ini, menjadi sekedar potensi ekonomi kreatif, bukan lagi pusaka budaya yang diwariskan oleh turun tumurunnya tradisi.

Maukah pembaca mengikuti tulisan saya berseri yang mengajak pembaca memahami dan memtertahankan batik dari perkembangan jaman.

Tinggalkan komentar

Mengenal Batik Setelah Jadi Orang Belanda

Berkenalan dengan Batik

Adi Kusrianto

Cerita mbak Nunuk Pulandari, seorang teman yang lama tinggal di Belanda bagaimana dia baru benar-benar jatuh cinta mempelajari Batik justru ketika dia sudah menjadi warga negara Belanda.

Semen Klewer (=motif yang bergantungan, kleweran)

Saya Nunuk Pulandari. Bagi saya pribadi sesungguhnya kosa kata “Batik” baru saya kenal dan mengerti dengan baik setelah saya duduk di sekolah dasar. Ketika saya mulai menarikan tari Serimpi, tari Bondan. Setiap menarikan satu tarian saya harus mengenakan jarik dengan motif yang saling berbeda. Sedang jawaban atas pertanyaan ”Batik itu apa sih” saya baru mengerti dan mengetahui setelah saya mulai menyenangi batik dan sering mengamati ibu dan eyang yang selalu mengenakan batik dalam kehidupannya sehari-hari.

Pada masa kecil, kami sering sekali berlibur ke rumah eyang putri di Pemalang. Sebuah kota yang terletak tidak berapa jauh dari kota batik, Pekalongan. Eyang tinggal di rumah ini bersama dengan Mbah Buyut (ibunya eyang putri) dan kakak wanitanya yang bernama mbah Diyah beserta putrinya, budhé Imah. Eyang kakung saya sudah lama meninggal dan saya tidak pernah mengenalnya secara langsung.

Yang sangat berkesan tiap liburan ini adalah fenomena kehadiran empat ibu-ibu di terras, di bagian belakang rumah. Setiap pagi, di terras ini selalu berkumpul dua orang ibu-ibu yang cukup sepuh dengan dua lainnya yang jauh lebih muda. Mereka selalu datang setiap pagi hari, tidak lama setelah merekahnya sang surya. Mereka datang tidak untuk bertamu tetapi untuk membatik, membuat jarik untuk eyang dan beberapa anggota keluarga putri lainnya.

Ibu Supri sedang membatik motif Gurka latar sisik ikan, di toko batik Mirota Yogyakarta

Kami selalu memanggil mereka dengan: “Mbok dan Yu Batik”. Segera setelah mereka datang, mereka duduk di amben (semacam tempat tidur dari anyaman bambu) rendah yang dilapisi dengan tikar yang agak tebal. Di atas amben ada empat “rak baju” tempat menyampirkan bahan mori yang akan mereka lukis dengan motif batik. Di atas amben itu mereka duduk di atas semacam dingklik (bangku pendek), lalu membatik, melukiskan motief-motief yang telah disebutkan dan dipilih oleh eyang putri sendiri.

Saat itu membatik tidak memakai patroon seperti saat ini. Gambaran motif yang disebutkan eyang ada dalam benak mbok pembatik. Saya melihat bahwa dua mbok Batik bertugas membatik motiefnya dan yu Batiknya sibuk dengan membuat isen batiknya. Dengan cecek, titik lembut sebagai isi motif.

Bila mereka sudah mulai membatik, suasana begitu hening dan tenang. Semua dengan penuh konsentrasi mengerjakan tugasnya masing-masing. Selama mengerjakan tugasnya mereka sangat jarang berbicara satu sama lainnya. Mereka baru beranjak dari pekerjaannya hanya kalau mereka harus pergi ke kamar mandi dan istirahat sambil makan dan mengunyah sirih.

Ibu dengan salah seorang sahabatnya.

Mereka dengan rajin dan cermatnya menghasilkan kain-kain panjang batik (jarik batik) yang indah.  Ini dapat saya lihat kalau saya sedang mengamati warisan batik yang ditinggalkan untuk kami bertujuh, 3 kakak ipar dan 3 adik.

Foto keluarga ibu (tengah berdiri pakai topi), eyang dengan keluargadiambil plus minus th.1922

Sejak ibu sekolah di Van Deventer School, Solo, beliau selalu mengenakan kain dan kebaya.

Sampai meninggalnya baik eyang putri maupun ibu selalu mengenakan jarik dan kebaya dalam kehidupan sehari-harinya. Dari mulai matahari terbit sampai jauh malam hari. Saya selalu melihat ibu berjalan hilir mudik dalam pakaian jarik dan kebayanya. Kadang memang terlintas pikiran ”Apakah tidak rebet dan panas selalu dililit kain jarik dan bersanggul dengan sunggarnya”. Apalagi kalau saya melihat ibu harus berganti lebih dari dua kali dalam sehari karena pada hari itu ibu harus mengunjungi dua pesta yang berbeda, misalnya.

Saya sama sekali tidak pernah membayangkan betapa banyaknya waktu dan tenaga yang harus dikeluarkan hanya untuk menghasilkan motief batik diatas secarik kain Mori yang berukuran 2 ½ sampai 3 kacu (kata bahasa Jawa untuk mengukur panjang kain mori). Kira-kira sama dengan 2 ½ sampai 3 meter panjang kali 115 -120 cm lebar. Sama sekali belum sadar bahwa hasil batikan poro mbok akan merupakan kenangan yang indah bagi kami bertujuh.

Seperti yang kita ketahui batik termasuk salah satu bentuk seni lukis tradisi klasik Jawa. Terutama di Jawa Tengah. Di dalam seni lukis batik ini dapat terlihat betapa banyaknya motief yang bisa kita temukan.

Jarik motif gulang galing, merupakan perpaduan anatara motif parang dengan motif gringsing (insang ikan)

Masing-masing motief memiliki ciri-ciri, arti dan makna serta nama tersendiri. Faktor-faktor ini memiliki hubungan yang erat dengan fungsi dan pemakaian batik dalam kehidupan sehari-hari. Tentang semua ini akan saya tuliskan dalam artikel berikutnya.

Prettig lezen. Tot volgende week.  Selamat membaca. Sampai minggu depan. Nu2k

Nunuk Pulandari

Tinggalkan komentar

Kain Bertuah, Apakah itu?

Adi Kusrianto

Kain yang bertuah dengan kalimat yang lebih jelas adalah kain (tenunan) yang memiliki tuah. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, “tuah” memiliki arti sakti; keramat; berkat (pengaruh) yang mendatangkan keuntungan (kebahagiaan, keselamatan, dan sebagainya). Mungkin mirip juga dengan istilah azimat atau jimat. Benar, kita paham bahwa di masa lalu bangsa kita adalah bangsa yang menganut animisme, yang mempercayai hal-hal gaib dari suatu benda. Jika saya membahas kain bertuah, bukan saya mengajak Anda untuk mempercayai tuah yang dimiliki kain. Tetapi kita menghargai suatu karya budaya yang merupakan kearifan lokal yang dipelihara dan dilestarikan dari sisi kekayaan budaya bangsa kita.

Sebagai contoh, Nusantara yang kaya ini memiliki banyak karya-karya wastra yang bagi sebagian penduduk dianggap bertuah. Antara lain Kain Kapal dari Lampung. Kain ini dipergunakan untuk memanggil bantuan roh leluhur. Kain Geringsing dari Bali yang diyakini memiliki kekuatan untuk menyembuhkan orang sakit, Kain Pakiri Mbola dari Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur dipakai pada ritual kematian, dianggap sebagai bekal kubur.

Di Jawa, beberapa karya Batik dengan motif tertentu dianggap (dipercaya) memiliki tuah, di Flores kain-kain Patola (secara teknis adalah kain tenun dobel ikat) asal India telah dijadikan kain pusaka yang dipercaya memiliki tuah dan disimpan beberapa ratus tahun hingga di jaman kita.

Kain Kapal, adalah kain Tapis dari lampung yang memiliki motif kapal

Motif Kain Kapal ini telah menjadi insipirasi seni instalasi di Centraal Station yang merupakan “gerbang kota” Amsterdam di Belanda. (sumber Kompas.com)

Dalam Tulisan Drs. Hasanudin, M,Sn “Batik Pesisiran Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik” (2001), saat menguraikan periode-periode batik pada era Kerajaan Hindu Budha menyebutkan ada periode yang dinamai sebagai periode batik tulis yang dibuat oleh dukun.

Bukan hanya Hasanudin yang mencantumkan adanya batik dukun, beberapa penulis yang lain juga mencantumkan adanya kain batik yang bertuah, yang dibuat oleh dukun. Bertuah dalam hal ini dimaksudkan bahwa kain ini dipercaya memiliki kasiat bisa menyembuhkan orang sakit dengan cara diselimutkan pada si sakit dan kasiat lain.

Masyarakat di kecamatan Kerek, Tuban adalah sekelompok masyarakat yang masih memegang teguh tradisi yang di lakukan para sesepuhnya. Tidak heran bila mereka masih memiliki tradisi turun temurun yang diperoleh sejak nenek moyangnya sejak zaman Majapahit, bahkan Singosari.

M. Rifat, salah seorang kolektor batik dalam keluarga besar pembatik di kecamatan Kerek berbagi cerita yang diperoleh dari neneknya tentang motif batik Gringsing. Di era kekuasaan raja Ken Arok (Sri Rajasa) antara tahun 1222 – 1227, para ponggawa kerajaan menggunakan kain bermotif gringsing byur (motif allover), sedang yang memiliki ornamen utama digunakan untuk raja.

Disamping itu juga dikenal motif Kesatriyan yang berbentuk segi lima dan ditengahnya ada titik putih, serta di hiasi oleh empat garis penunjuk arah mata angin. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Rukayah (70 tahun) dari Kerek, Tuban. Bahwa bukan hanya Gringsing dan Kesatriyan, di era Singosari juga dikenal kain Panji Krentil dan Panji Serong. Kedua batik motif itu biasanya digunakan dalam ritual tertentu. (Tempo, 2018)

Mengenai istilah Batik yang dibuat oleh dukun batik pada zaman nenek moyang kita, rasanya belum telalu jauh cerita semacam itu kita tinggalkan dari zaman kita. Bukankah kita biasa menyebut orang yang punya ilmu itu sebagai orang pinter, bahkan lebih popular dengan sebutan “dukun”.

  • Ada dukun manten (Perias dan yang menguasai tradisi dan ubarampe upacara pernikahan)
  • Dukun Hujan (Pawang Hujan)
  • Dukun Bayi (menolong persalinan sampai mengurut bayi)
  • Dukun Pengusir Mahluk Halus, dll.
  • Sampai ada Dukun Batik

Para pencipta ragam hias batik pada jaman dahulu tidak hanya menciptakan sesuatu yang indah dipandang mata, tetapi juga mereka mencari arti atau makna yang erat hubungannya dengan falsafah hidup yang mereka hayati (Sukarno, 1987).

Mereka menciptakan motif-motif batik itu dengan pesan dan harapan yang tulus dan luhur, semoga akan membawa kebaikan serta kebahagiaan bagi si pemakai (consumer oriented). Orang jaman dulu kebutuhannya tidak banyak, sehingga kebanyakan dari mereka lebih suka konsep menggunakan kelebihan (sifat linuwih) yang ada pada dirinya untuk menolong orang lain.

***

Tinggalkan komentar

The Heirloom of Indonesian Textile/ Kain yang di keramatkan sebagai Pusaka di Negeri kita

Adi Kusrianto

Pada tulisan Ruth Barnes yang berjudul “Five Centuries of Indonesian Textiles” ada satu alinea yang saya petik. Disitu Ruth yang seorang kurator museum dan tergila-gila mendalami tekstil Nusantara menuliskan begini.

“Pada pertengahan dasawarsa 1990an, telah dilakukan penyelidikan terhadap sampel-sampel kain Nusantara yang di pada masa lalu asalnya di beli dari pedagang Gujarat, India. Analisa itu dilakukan menggunakan radiocarbon (C-14). Seluruh kain yang dijadikan sampel percobaan itu adalah kain berbahan katun yang diasumsikan dan dipelihara dengan hati-hati sebagai barang pusaka (heirloom)

Diperoleh Fakta yang mengejutkan, bahwa ternyata dari usia kain berdasarkan penyelidikan itu telah berusia enam ratusan tahun. Kalau penyelidikan dilakukan tahun 1995, maka berarti kain itu dibuat pada tahun 1395 (Masyaallah). Selain itu yang lebih mengejutkan bahwa kebanyakan kain-kain itu adalah berupa kain yang dihasilkan dengan teknik wooden stamp alias kain yang di cetak menggunakan stempel kayu.

Kebetulan saya telah agak beberapa lama mempelajari dari sumber lain, bahwa apa yang dilaporkan dari riset tersebut adalah kain Chintz. Ketika masuk ke tanah Jawa, namanya diubah menjadi berbahasa Jawa, “Cinde”. Ya, kain cinde. Itulah yang rupanya dijadikan obyek Study Ruth barnes.

Mengapa masih banyak kain Chintz yang masih ditemukan pada dasawarsa 1990an? Pertama, kain itu terbuat dari serat kapas. Serat kapas yang disebut sebagai rajanya serat tekstil memang memiliki kekuatan yang paling baik (lebih kuat) dibanding serat tekstil alam lainnya. Yang kedua, sebagaimana tim yang diikuti Ruth Barnes ketika mengambil sampel kain lama itu, adalah kain-kain pusaka atau bahasa Inggrisnya heirloom. Kain pusaka adalah kain yang bukan dipakai sebagai busana sehari-hari atau sering dipakai (mungkin hanya jarang, sekali-sekali, misalnya kain yang dipakai saat pernikahan saja, habis itu disimpan sebagai memorabilia).

Bentuk pusaka yang lain yang disebutkan disini adalah kain-kain yang diskralkan, oleh karenanya dia dipelihara dengan cara yang sangat khusus. Inggat nggak, ada tradisi pusaka-pusaka kerajaan Nusantara sekali setahun pada bulan Suro itu di “sucikan”, “dimandikan”, yang dalam istilah lain kain itu di ratus, yaitu diasapi dengan dupa ratus. Kalau zaman sekarang sih Pak Prima yang ahli ngratus batik menyebutnya kain batik di Spa. Biar keren.

Kembali ke teknik menghias kain (mendisain kain) secara teknik dapat saya sebutkan ada dua cara, yang pertama dengan cara Struktural Design. Yaitu desain/hiasan kain itu dibuat saat menenun kain. Caranya mewarnai benang berbeda-beda selang seling sebagai contoh tenun lurik, atau membuat hiasan atau pola dengan cara mengikat benang agar diperoleh efek perintang warna. Yaitu yang dikenal dengan istilah tenun ikat. Di Gujarat tenun ikat ganda yang terkenal adalah PATOLA. Ada juga tenun ikat lain diluar jenis Patola. Nanti, saya akan bahas pada tulisan lain yaaa.

Nah teknik mendesain lainnya disebut Surface Design, yaitu kain yang didesain setelah kain itu selesai di tenun. Salah satu contohnya adalah kain Chint yang di stempel dengan pewarna tekstil. Contoh lain diantaranya adalah Batik.

Itulah yang hingga sekarang masih merupakan polemik. Apakah pakaian-pakaian yang dikenakan dewa-dewa/ raja-raja/ tokoh pada relief candi-candi itu adalah kain batik? Contohnya pada patung Prajdnaparamita, patung Durga dan tokoh lain di Candi Singosari itu adalah motif Batik?. Awalnya saya mengira itu batik, tetapi setelah belajar lebih lanjut saya berpikir saat itu pembatik belum ada yang secanggih itu dalam menggoreskan canting, membentuk motif-motif dengan bentuk dan repeat yang seperti itu. Besar kemungkinan para dewa itu mengenakan kain katun yang distempel alias kain Chitz yang memang tergolong kain sakral di zaman itu. Batik baru berkembang dizaman atau era setelah itu.

Saya akan membahas lebih lanjut kecenderungan itu pada tulisan yang lain.

Tinggalkan komentar

Kain Georgette

Topik ini saya muat pada buku “MENGENAL 50 KAIN BAHAN BUSANA”.

Harga Rp 150,000 pus ongkir.
WA 0816 545 7187

Tinggalkan komentar

Mengenal 50 Kain Bahan Busana

(Adi Kusrianto)

Buku ini adalah pengembangan dari buku yang berjudul “PENGETAHUAN BAHAN TEKSTIL DISERTAI CONTOH KAIN”, dimana saya bermaksud menyampaikan berbagai pengetahuan mengenai jenis dan nama kain bahan busana. Tulisan saya ini dimaksudkan sebagai referensi bagi pembaca yang dalam aktifitasnya berhubungan dengan memakai kain, baik sebagai seorang disainer fashion, sebagai penjahit, mereka yang tugasnya sebagai seorang fashion merchendiser, quality control maupun manajer produksi suatu pabtik tekstil.

Referensi seputar pengetahuan tentang kain ini lebih spsifik dibanding pengetahuan mengenai ilmu teknologi tekstil. Jika teknologi tekstil arahnya bagaimana memproduksi benang maupun kain, maka pengetahuan tentang kain ternyata jauh lebih dalam dan spesifik. Karena disini kita akan perlu berbekal pengetahuan tentang serat tekstil baik serat alam, serat semi sintetis hingga sintetis. Bentuk serat berupa staple (serat pendek) yang perlu di pintal terlebih dulu sehingga menjadi benang, maupun serat berbentuk filamen yang sudah berbentuk benang serabut panjang yang tidak perlu dipintal, melainkan hanya di rangkap dan di beri twist (puntiran).

Untuk mengenali kain, perlu mengetahui apakah jenis kain tenun, kain rajut, kain kempa (non woven fabric) atau macrame. Karena masing-masing kain tadi memiliki karakteristik meliputi kekuatan tarik, kemampuan untuk mempertahankan bentuk setelah mengalami tarikan, kemampuan untuk melar. Itu akan terkait bagaimana kain itu ditenun maupun di rajut.
Buku ini di terbitkan Adi Kusrianto Literary Agent. Harga Buku ini Rp. 150,000.- ditambah ongkos kirim.
Ukuran buku 14,9 x 21 cm, Kertas HVS 100 gram, cetak full color, jilid spiral.

Pemesanan melalui WA 0816 545 7187 Adi Kusrianto

Tinggalkan komentar

Selamat Datang Batik China, Batik Srilanka, Batik Nigeria, dan Batik Negara lain

Sejak tanggal 1 November 2021 yang lalu, di medsos banyak beredar video tentang expose Batik China. Menarik memang, terbutkti banyak yang me-reaksi postingan tersebut. Tetapi banyak justru yang jealous melihat ini, tanpa bisa berbuat apa-apa. Berikut ini adalah rangkuman komentar dan pendapat Adi Kusrianto, salah seorang penulis batik yang memiliki empat grup WA dengan peserta sekitar 800 member.

“Chinesse Batik”, sama halnya dengan “Malaysian Batik”, disini kata BATIK digunakan sebagai istilah Craftmenship (ketrampilan dalam kriya), dimana kosa kata BATIK sama halnya dengan kosa kata IKAT telah diserap dalam berbagai bahasa dan bahkan telah dimasukkan ke dalam kamus. Baik BATIK dan IKAT disebutkan istilah yang diserap dari Bahasa Indonesia.

Batik China sudah berusia 1000 tahun. Batik Indonesia berapa tahun ya?

Disinilah justru merupakan WARNING bagi para Pembatik kita, pemilik Batik Nusantara, agar benar-benar memahami Batik yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Untung ya, pembatik China itu tidak membuat batik Parang maupun Sidomukti. Mungkin parang dan sidomukti mereka lebih banyak terjual di seluruh dunia lho.

Jangan terlalu bebas mengembangkan batik sehingga justru ciri INDONESIAN BATIK malah hilang karena terbawa arus dagangan trend sesuai selera pasar dunia.

Ingat bahwa bangsa-bangsa lain juga membuat BATIK-BATIK dengan gaya mereka masing2. Sangat boleh jadi. Sekali lagi sangat boleh jadi, diantara batik-batik bebas, batik-batik modern ala pembalik millenial kita akan KALAH PAMOR dengan batik-batik negeri lain.

Jadi jangan bangga asal batik Anda laku dijual, laku di expor.

Pendapat tersebut di amini oleh beberapa anggota diantaranya  Bagas Mataya (Laweyan, Surakarta), Dr. Lucky (IKJ Jakarta), Slamet Arief (Perajin batik Kudus), Dra. Retna Devi (Tokoh penggiat batik Kediri).

Bahkan Dr. Lucky menulis komentarnya “Mengerikan yaaa…”

Program Ekonomi kreatif (dibawah pengelolaan Kemenparekraf) mendorong para desainer batik untuk berkreasi mengikuti trend fashion dunia. Para UKM “yang berada dibawah bimbingan Ekonomi Kreatif” rata-rata para pembatik yang penguasaan ilmu batiknya baru sebatas nyanting dan mewarnai, menyambut ajakan itu sehingga, booooommm,… batik-batik kreatif model begini muncul memenuhi pasar. Salah satu alasannya agar kaum millenial mau memakai batik. Dan bukannya mendidik kaum millenial mengenal batik itu sebenarnya apa, dan mereka akan menggunakan batik dengan sepenuh kebanggan setelah memahaminya.

Di pasar mereka akan bersaing dengan BATIK SRILANGKA, BATIK INDIA, BATIK MALAYSIA, BATIK CHINA,…. belum lagi model-model batik dari Afrika sebagaimana yang saya ekspose melalui tulisan saya. Dipasar lokal, seperi Mangga Dua, Tanah Abang, Pasar Atum kita akan berteriak ketika diserbu produk-produk batik luar negeri. Bukan saja lebih murah dan kualitasnya lebih baik, tetapi juga motif-motif nya yang lebih cenderung sebagai motif kain printing pada umumnya lebih disukai.

Lalu setelah disini, dimana “kesaktian”, “ke adiluhungan” warisan budaya nenek moyang itu”

Nuwun sewu, BALAI BESAR KERAJINAN DAN BATIK yang kita bersama harapkan akan melindungi BATIK dari seni massal, seni industrialisasi karena beliau-beliau berada dibawah kementerian PERINDUSTRIAN, ya tidak salah kalau arahannya adalah INDUSTRIALISASI BATIK.

Kita sendirilah para pecinta dan para pelestari batik yang menjadi benteng pelestarian batik, yang konon dalam berbagai jargon disebut sebagai WARISAN BUDAYA ADILUHUNG.

Silahkan temukan dimana ke ADI LUHUNGAN batik saat ini.

Jangan salahkan China dengan Chinesse batik, jangan salahkan Malaysia dengan Malaysian Batik. Itu hak dan kreatifitas mereka, sementara bangsa Indonesia sendiri yang merasa menjadi pemilik Batik, justru belum paham benar dengan Batik itu sendiri. Kosa kata Batik yang di Indonesia sendiri masih diperdebatkan asal katanya apa (????), saat ini justru sudah menjadi kata serapan pada kamus bahasa Inggris, bersamaan dengan kosa kata IKAT. Jadi sangat wajar bila ada Indian Batik, Srilanka’s Batik, Nigerian Batik dan batik-batik negara lain. Itu sah. Benar itu sah. Tidak perlu marah-marah.

Menurut Dra. Ratna Devi, pelatihan membatik saat ini kebanyakan mengajarkan mencanting motif-motif bebas, kontemporer. Tidak ada pengenalan bagaimana bentuk batik klasik yang konon memiliki makna dan filosofi itu. Juga pewarnaan yang dikenalkan kepada pembatik pemula adalah pewarnaan sintetis.

Sedangkan Bagas Nirwana salah seorang dari Mataya art & heritahe Surakarta, menambahkan “Nggih leres…(iya betul) maka dari sekarang saya mengajarkan menggambar untuk anak-anak, motif batik klasik Jawa. Sebaiknya mengenalkan batik Indonesia itu dari pengenalan ornamen-ornamen baku nya dulu”.

Kata-kata Bagas di benarkan oleh Ratna Devi (Kediri) dan Tami (Yogya).

Menurut Adi kusrianto, batik-batik Afrika, pasarnya sangat luas sekali diseluruh negara-negara Afrika dan mulai masuk Amerika melalui para Afro American.

Batik Print Ghana (Afrika)

Batik-batik Printing Afrika

(foto: Setyo Hargyanto)

Batik Srilanka yang dijual di kaki lima dibawah ini dijual dengan harga murah. Mereka sangat menyukai motif-motif Batik khas mereka. Bukan hanya orang Indonesia saja lho yang senang memakai batik.

Batik Printing Srilangka

Sedangkan batik tulis yang dibuat menggunakan malam dan canting, harganya lebih mahal untuk kualitas eksklusif seperti contoh-contoh berikut ini.

Batik Tulis Srilanka (Foto: Alami).

Ibu Indra Tjahyani:, salah seorang tokoh pelatih batik (Batik Yuuk.com) berujar “Betul, Saya juga sedih ketika dalam salah satu webinar nya  BBKB memperkenalkan Komputerisasi Motif Batik😔.

Lalu apa bedanya dengan batik printing???. Sudah hilang makna ke adiluhungan batik Indonesia jika negara justru mengejar produksi massal dari warisan budaya adiluhung ini dengan di obral murah, ujar Adi Kusrianto.

Gambar dibawah ini adalah batik-batik karya perajin China.

Wina Wilman dosen senior fakultas psykologi UI menyampaikan reaksinya hanya dengan menampilkan imoticon tangis dan lelehan air mata. 😭😭

Indra Tjahyani menambahkan  “Alhamdulillah workshop saya masih  konsisten memperkenalkan cara membatik traditional Indonesia dan berbagi tentang Filisofi dibalik ragam hias batik …. Mudah-mudahan  masih ada yg mau ikut workshop saya dan turut melestarikannya.

Adi  Kusrianto menambahkan, “Dalam hal pendidikan dan pelestarian BATIK, negara KOREA SELATAN bahkan mendukung pelestarian Batik Indonesia dengan MENYEWA ORANG INDONESIA/ AHLI BATIK INDONESIA untuk mendidik BANGSA INDONESIA untuk diajar BATIK. Para peserta sudah dididik dengan gratis, diberi fasilitas untuk berproduksi, diberi uang saku pula.

Apakah pemerintah kita tidak menoleh pada upaya ini?

Wina Wilman berkomentar “Di Sekolah Pilar (Sekolah Umum Swasta) sudah ada guru membatik”.

Iya benar bu Wina, tetapi yang diajarkan baru pelajaran mencanting. Masih jarang yang menjelaskan bagaimana motif-motif yang memiliki makna dan kegunaan tertentu. Tapi baca BATIK = KETRAMPILAN MENCANTING. Ilmu mencanting saat ini dikuasai banyak bangsa di dunia.

Jangan bilang, jaman sudah berubah dan yang klasik itu sudah kuno. Kita harus membuka mata dengan selera dunia. Biasanya itu kata-kata pembenaran yang digunakan. Kalau memang begitu mari kita berbesar hati mengucapkan kata-kata “Selamat Datang Batik China, Batik srilangka, Batik Malaysia, Batik Nigeria,… mari kita berbagi kue pasar dunia untuk produk Batik”.

***